Sabtu, 02 Juli 2016

KAJIAN TERHADAHAP ANATOMI KEMATIAN IBU DAN BAYI DI INDONESIA


A.    Pendahuluan
Secara umum, sampai pada tahun 2015 Indonesia telah mampu menekan kematian ibu dan bayi,  namun masih jauh dari target MDGs tahun 2015 (RENSTRA KEMENKES, 2015-2019). Peristiwa kematian ibu dan bayi baru lahir banyak terjadi ketika persalinan, pasca persalinan dan hari-hari awal kehidupan bayi merupakan tragedy yang terus terjadi di Indonesia.  Hal ini tentunya memerlukan berbagai upaya dengan inovasi baru untuk meminimalkan peristiwa tersebut (DEPKES-RAN-PP-AKI, 2013-2015).
Salah satu cara untuk menurunkan AKI di Indonesia adalah dengan persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan yang terlatih dan melakukan persalinan difasilitas pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan terlatih yaitu dokter spesialis kebidanan dan kandungan (SpOG), dokter umum, dan bidan. Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013 cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan secara nasional pada tahun 2013 adalah sebesar 90,88%. Cakupan ini terus menerus meningkat dari tahun ke tahun.  Sementara itu jika dilihat dari cakupan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan yang terlatih menurut provinsi di Indonesia pada tahun 2013, tiga provinsi dengan cakupan tertinggi adalah provinsi Jawa Tengah dengan cakupan 99,89%, Sulawesi Selatan 99,78%, dan Sulawesi Utara 99,59%. Tiga provinsi dengan cakupan terendah adalah Papua 33,31%, Papua Barat (73,20%) dan NTT (74,08%).
Angka kematian ibu di Propinsi NTT pada tahun 2014 mengalami penurunan drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2008 tergolong tinggi di Indonesia yaitu mencapai 330 orang namun pada 2014 turun menjadi 159 orang per 1.000 kelahiran. Penurunan drastis ini karena program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dioperasionalkan dengan misi agar indikator angka kematian di NTT pada 2008-2014 sama dengan pencapaian secara nasional atau satu digit di bawahnya. Penurunan drastis dialami karena pada 2014 sudah 87 persen ibu hamil (bumil) melahirkan di fasilitas kesehatan. Sementara pada 2007, masih 77,7 persen ibu hamil melahirkan di rumah dengan dibantu dukun kampong (Profil Dinas Kesehatan NTT, 2014).
Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Timur mengklaim revolusi kesehatan ibu dan anak di NTT sudah berhasil. Ukurannya makin banyak ibu hamil yang melahirkan di fasilitas kesehatan. Program ini, diluncurkan untuk menekan angka kematian ibu dan bayi yang sangat tinggi saat itu. Angka kematian ibu di NTT sudah bisa ditekan, namun angka kematian bayi belum bisa ditekan. Tahun 2010, angka kematian bayi NTT, lebih dari seribu seratus bayi. Tahun 2011, lebih dari 1200 bayi dan tahun 2012, bayi di NTT yang meninggal mencapai 1450 bayi (Profil Dinas Kesehatan NTT, 2014).
Selain itu usaha yang dilakukan untuk menurunkan AKI dan AKB adalah memberi pelayanan pada ibu hamil dan ibu bersalin secara cermat dan tepat. Dalam upaya menurunkan angka kematian ibu, pemerintah menerapkan strategi Making Pregnancy Safer (MPS) yang dimulai pada tahun 2000. MPS mempunyai visi agar kehamilan dan persalinan di Indonesia berlangsung aman dan bayi yang dilahirkan hidup dan sehat (Prawirohardjo, 2009).

B.     Kematian Ibu
Angka kematian ibu juga merupakan salah satu target yang telah ditentukan dalam tujuan pembangunan millenium yaitu tujuan ke 5 yaitu meningkatkan kesehatan ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai ¾ resiko jumlah kematian ibu. Dari hasil survei yang dilakukan AKI telah menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu, namun demikian upaya untuk mewujudkan target tujuan pembangunan millenium masih membutuhkan komitmen dan usaha keras yang terus menerus.

           a.  Jumlah Kematian Ibu di Indonesia
        Jumlah angka kematian ibu antara tahun 1991 sampai dengan tahun 2012 dapat di lihat pada gambar 1.

Gambar 1. Angka kematian ibu di indonesia tahun 1991 – 2012
(Sumber: BPS, SDKI 1991-2012)

Dari Gambar 1 tersebut dapat dilihat bahwa AKI di Indonesia sejak tahun 1991 hingga 2007 mengalami penurunan dari 390 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Sejak tahun 1990 pemerintah telah melakukan upaya strategis dalam upaya menekan AKI dengan pendekatan safe motherhood yaitu memastikan semua wanita mendapatkan perawatan yang dibutuhkan sehingga selamat dan sehat selama kehamilan dan persalinannya. Di Indonesia, Safe Motherhood Initiative ditindaklanjuti dengan peluncuran program Gerakan Sayang Ibu di tahun 1996 oleh presiden yang melibatkan berbagai sektor pemerintahan disamping sektor kesehatan.
Salah satu program utama yang ditujukan untuk mengatasi masalah kematian ibu adalah penempatan bidan di tingkat desa secara besar-besaran yang bertujuan untuk mendekatkan akses pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir ke masyarakat. Pada tahun 2000 Kementerian Kesehatan RI memperkuat strategi intervensi sektor kesehatan untuk mengatasi kematian ibu dengan mencanangkan strategi Making Pregnancy Safer (Profil Kesehatan RI, 2014).

Namun, pada tahun 2012 SDKI kembali mencatat kenaikan AKI yang signifikan, yakni dari 228 menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Oleh karena itu, pada tahun 2012 Kementerian Kesehatan meluncurkan program Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS) dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan neonatal sebesar 25%. Program ini dilaksanakan di provinsi dan kabupaten dengan jumlah kematian ibu dan neonatal yang besar, yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan provinsi tersebut dikarenakan 52,6% dari jumlah total kejadian kematian ibu di Indonesia berasal dari enam provinsi tersebut. Sehingga dengan menurunkan angka kematian ibu di enam provinsi tersebut diharapkan akan dapat menurunkan angka kematian ibu di Indonesia secara signifikan (Profil Kesehatan RI, 2014). Untuk mencapai MDG-5 Indonesia 2015 maka diperlukan pencegahan terhadap kematian ibu (gambar 2).

       Gambar 2. Kematian ibu yang harus dicegah untuk mencapai MDG-5 2015

b. Determinan Kematian Ibu
Kematian ibu merupakan peristiwa kompleks yang disebabkan oleh berbagai penyebab yang dapat dibedakan atas determinan dekat, antara, dan jauh. Determinan dekat berupa gangguan obstetrik seperti perdarahan, preeklamsi/eklamsi, dan infeksi atau penyakit yang diderita ibu sebelum atau selama kehamilan yang dapat memperburuk kondisi kehamilan seperti jantung, malaria, tuberkulosis, ginjal, dan acquired immunodeficiency syndrome. Determinan antara berhubungan dengan faktor kesehatan, seperti status kesehatan ibu, status reproduksi, akses terhadap pelayanan kesehatan, dan perilaku penggunaan fasilitas kesehatan sedangkan determinan jauh berhubungan dengan faktor demografi dan sosiokultural (McCharty dan Maine, 1992).
Kesadaran masyarakat yang rendah tentang kesehatan ibu hamil, pemberdayaan perempuan yang tidak maksimal, latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan masyarakat dan politik, serta kebijakan secara tidak langsung ikut berperan dalam meningkatkan kematian ibu (Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2011). AKI yang tinggi di suatu wilayah pada dasarnya menggambarkan derajat kesehatan masyarakat yang rendah dan berpotensi menyebabkan kemunduran ekonomi dan sosial di level rumah tangga, komunitas, dan nasional.

     c.       Penyebab Langsung Kematian Ibu di Indonesia
Penyebab kematian langsung merupakan akibat komplikasi kehamilan, persalinan, atau masa nifas, dan segala intervensi atau penanganan tidak tepat dari komplikasi tersebut. Kematian ibu langsung mencakup kematian ibu akibat penyulit obstetri pada kehamilan, persalinan, atau masa nifas, dan akibat dari intervensi, kelalaian, kesalahan terapi, atau rangkaian kejadian yang disebabkan oleh faktor-faktor tersebut. Contohnya adalah kematian ibu akibat perdarahan karena ruptur uteri (Cunningham, 2005).


     d.      Penyebab Tidak Langsung Kematian Ibu di Indonesia
Kematian ibu tidak langsung merupakan akibat dari penyakit yang sudah ada atau penyakit yang timbul sewaktu kehamilan yang berpengaruh terhadap kehamilan, misalnya malaria, anemia, HIV/AIDS, dan penyakit kardiovaskular (Prawirohardjo, 2008). Kematian ibu tidak langsung mencakup kematian ibu yang tidak secara langsung disebabkan oleh kausa obstetri, melainkan akibat penyakit yang sudah ada sebelumnya, atau suatu penyakit yang timbul saat hamil, melahirkan, atau masa nifas, tetapi diperberat oleh adaptasi fisiologis ibu terhadap kehamilannya. Contohnya adalah kematian ibu akibat penyulit stenosis mitral (Cunningham, 2005).

C.    Kematian Bayi 
       a.      Kematian Neotanal Bayi
Sebagian besar umur Neonatal kurang dari 10 hari. Berat badan neonatal pada saat lahir kurang dari 2500 gram. Berdasarkan Neonatal meninggal disebabkan berat badan lahir rendah. Sebagian besar kematian Neonatal karena infeksi banyak dipengaruhi pada saat kehamilan ibu (antenatal). Sebagian besar kematian Neonatal karena Asfiksia banyak pada tingkat asfiksia berat (Wati, 2013).

      b.      Penyebab Kematian Neotanal Bayi
Kematian neonatus terjadi karena neonatus komplikasi. Neonatus komplikasiadalah neonatus dengan penyakit dan atau kelainan yang didapat menyebabkan kecacatan dan atau kematian, seperti asfiksia, ikterus, hipotermia, tetanus neonatorum, infeksi/sepsis, trauma lahir, BBLR (Berat lahir < 2500 gram), sindrom gangguan pernapasan, dan kelainan kongenital (WHO, 2012). Determinan kematian neonatus menurut WHO pada tahun 2012 yaitu Permaturitas dan BBLR (30%), Infeksi neonatus (25%), Asfiksia dan trauma lahir (23%), Kelainan kongenital (7%), Tetanus Neonatorum (3%), Diare (3%), dan penyebab lain (9%).


    


                                               Gambar 3. Kecenderungan kematian bayi di Indonesia (Depkes)


c.       Angka Kematian Bayi Indonesia

Angka Kematian Bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate merupakan indikator yang lazim digunakan untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat, baik pada tatanan provinsi maupun nasional. AKB merujuk pada jumlah bayi yang meninggal pada fase antara kelahiran hingga bayi belum mencapai umur 1 tahun per 1.000 kelahiran hidup. Saat ini Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia adalah tertinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia 34 per 1000 kelahiran hidup (Depkes, 2009).  Bila dirincikan 157.000 bayi meninggal dunia per tahun atau 430 bayi meninggal dunia per hari.
Gambar 3. Kecenderungan kematian bayi di Indonesia (Depkes)
Dalam Millenium Development Goals (MDGS), Indonesia menargetkan pada tahun 2015 Angka Kematian Bayi (AKB) menurun menjadi 17 bayi per 1000 kelahiran. Penyebab kematian bayi baru lahir salah satunya disebabkan oleh asfiksia (27%) (SKRT, 2007) yang merupakan penyebab kedua kematian bayi baru lahir setelah BBLR (Departemen Kesehatan RI, 2008). Pada tahun 2009 angka terjadinya asfiksia di dunia menurut World Health Organization (WHO) adalah 19%. Kecenderungan kematian bayi dan balita dapat dilihat pada gambar 3 di bawah ini.


                                              Gambar 3. Kecenderungan kematian bayi di Indonesia (Depkes)


D.    Beberapa Upaya Untuk Menurunkan Kematian Ibu dan Bayi
      a.      Penguatan Pelayanan KB Pasca Persalinan
Pelayanan KB pasca persalinan merupakan strategi yang penting dari kesehatan masyarakat dengan keuntungan yang signifikan terhadap ibu dan bayinya. Idealnya pemilihan kontrasepsi pasca persalinan, telah diperkenalkan pada saat kehamilan agar tidak terlambat untuk mendapatkannya karena pada umumnya wanita mulai menggunakan kontrasepsi pada minggu keenam pasca persalinan. Pelayanan KB Pasca Persalinan merupakan salah satu program strategis untuk menurunkan kehamilan yang tidak diinginkan (Mujianti dalam data dan informasi kesehatan KEMENKES, 2013).
Seorang ibu yang baru melahirkan bayi biasanya lebih mudah untuk diajak menggunakan kontrasepsi, sehingga waktu setelah melahirkan adalah waktu yang paling tepat untuk mengajak seorang ibu menggunakan kontrasepsi. Tujuan pelayanan KB Pasca Persalinan adalah untuk mengatur jarak kehamilan/kelahiran, dan menghindari kehamilan yang tidak diinginkan, sehingga setiap keluarga dapat merencanakan kehamilan yang aman dan sehat.
Pelayanan KB pasca persalinan dimulai dengan pemberian informasi dan konseling yang sudah dimulai sejak masa kehamilan. Tenaga kesehatan sebagai pemberi pelayanan memegang peranan penting dalam memberikan informasi dan konseling KB pasca persalinan kepada calon peserta KB (Mujianti dalam data dan informasi kesehatan KEMENKES, 2013).
KB Pasca Persalinan dilaksanakan pada periode menyusui. Rekomendasi Hasil Kajian Health Technology Assesment (HTA) Indonesia, tahun 2009, tentang KB pada Periode Menyusui adalah sebagai berikut:
   1.  Wanita pada periode menyusui direkomendasikan untuk menggunakan kontrasepsi KB sebelum terjadi ovulasi pertama kali sekitar 155 ± 45 hari.
    2.      Bahwa Pemberian ASI Eksklusif menunda terjadinya ovulasi.
    3.      Metode kontrasepsi progestin tidak mengganggu volume dan kandungan nutrisi Air Susu Ibu.
   4.      Kontrasepsi pil progestin (progestin-only minipills) dapat mulai diberikan dalam 6 minggu pertama pasca persalinan. Namun, bagi wanita yang mengalami keterbatasan akses terhadap pelayanan kesehatan, minipil dapat segera digunakan dalam beberapa hari (setelah 3 hari) pasca persalinan.
   5.      Kontrasepsi suntikan progestin/ Depo Medroxy Progesteron Acetat (DMPA) pada minggu pertama (7 hari) atau minggu keenam (42 hari) pasca persalinan terbukti tidak menimbulkan efek negatif terhadap menyusui maupun perkembangan bayi.
   6.      Penggunaan DMPA jangka panjang (> 2 tahun) terbukti menurunkan densitas mineral tulang sebesar 5-10% pertahun. Namun, WHO merekomendasikan tidak adanya pembatasan lama penggunaan DMPA bagi wanita usia 18-45 tahun.
   7.      Tidak terdapat hubungan antara durasi penggunaan DMPA dengan peningkatan risiko kanker payudara.
   8.      Kontrasepsi implan merupakan pilihan bagi wanita menyusui dan aman digunakan selama masa laktasi, minimal 4 minggu pasca persalinan.
   9.      AKDR pasca plasenta aman dan efektif, tetapi tingkat ekspulsinya lebih tinggi dibandingkan ekspulsi ≥ 4 minggu pasca persalinan. Ekspulsi dapat diturunkan dengan cara melakukan insersi AKDR dalam 10 menit setelah ekspulsi plasenta, memastikan insersi mencapai fundus uterus, dan dikerjakan oleh tenaga medis dan paramedis yang terlatih dan berpengalaman.
  10.  Jika 48 jam pasca persalinan telah lewat, insersi AKDR ditunda sampai 4 minggu atau lebih pasca persalinan
  11.  AKDR 4 minggu pasca persalinan aman dengan menggunakan AKDR copper T, sedangkan jenis non copper memerlukan penundaan sampai 6 minggu pasca persalinan.
  12.  Penggunaan kontrasepsi kombinasi oral dalam 6 bulan pasca persalinan dapat menurunkan volume ASI pada wanita menyusui.
  13.  Pada negara-negara dengan keterbatasan akses terhadap kontrasepsi, MAL dapat direkomendasikan untuk digunakan.
  14.  Metode Amenore Laktasi (MAL) efektif mencegah kehamilan pada wanita menyusui pasca persalinan yang memenuhi kriteria sebagai berikut: amenorea, pemberian ASI eksklusif, proteksi terbatas pada 6 bulan pertama. MAL dapat dipertimbangkan penggunaannya pada daerah dengan keterbatasan akses terhadap kontrasepsi.
Mengacu pada rekomendasi HTA tersebut, semua metode baik hormonal maupun non hormonal dapat digunakan sebagai metode dalam pelayanan KB Pasca Persalinan. Metode tersebut meliputi:
a.       Non hormonal  
1.      Metode Amenore Laktasi (MAL).
2.       Kondom.
3.      Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR).
4.      Abstinensia (Kalender).
5.      Kontrasepsi Mantap (Tubektomi dan Vasektomi).
b.      Hormonal
1.      Progestin: pil, injeksi dan implan.
2.      Kombinasi: pil dan injeksi.

          b.      Penguatan Konseling KB Pasca Persalinan
Dalam pelayanan KB pasca persalinan, sebelum mendapatkan pelayanan kontrasepsi, klien dan pasangannya harus mendapat informasi dari petugas kesehatan secara lengkap, jelas dan benar agar dapat menentukan pilihannya dengan tepat. Pelayanan KB pasca persalinan akan berjalan dengan baik bila didahului dengan konseling yang baik, dimana klien berada dalam kondisi yang sehat, sadar, dan tidak di bawah tekanan ataupun tidak dalam keadaan kesakitan (Mujianti dalam data dan informasi kesehatan KEMENKES, 2013).
Konseling pelayanan KB pasca persalinan dapat menggunakan media lembar balik Alat Bantu Pengambilan Keputusan (ABPK) ber-KB. Konseling KB pasca persalinan ini dapat dilaksanakan pada waktu pemeriksaan kehamilan, saat mengisi amanat persalinan dalam P4K dan saat mengikuti kelas ibu hamil, selama proses persalinan, pasca persalinan, dan sebelum/sesudah pelayanan kontrasepsi. Setelah dilakukan konseling pada klien dan sudah ditentukan metode kontrasepsi yang dipilih, klien memberikan persetujuannya berupa tanda tangan pada lembar persetujuan tindakan medis (informed consent) untuk metode KB AKDR, implan serta kontrasepsi mantap (tubektomi dan vasektomi) (Mujianti dalam data dan informasi kesehatan KEMENKES, 2013)

         c.       Pencatatan dan Pelaporan KB Pasca Persalinan
Secara sederhana, jumlah target atau sasaran peserta KB Pasca Persalinan adalah pasangan usia subur yang isterinya sedang dalam kondisi masa nifas (sampai 42 hari pasca persalinan). Agar hasil pelayanan KB Pasca Persalinan dapat menggambarkan kinerja seorang tenaga kesehatan maka semua kegiatan pelayanan KB pasca persalinan yang dilaksanakan di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan harus dicatat dalam format yang ada (kohort KB, kohort Nifas, kartu status peserta KB/K4, dan F2 KB) dan kemudian dilaporkan kepada Dinas (Mujianti dalam data dan informasi kesehatan KEMENKES, 2013).

E.     Kesimpulan
Angka Kematian Ibu (AKI) terjadi akibat komplikasi pada saat persalinan sehingga dapat menimbulkan konsekuensi yang sangat serius. Selain itu, penyebab langsung kematian maternal yang paling umum di Indonesia adalah pendarahan, eklamasi, dan infeksi. Persalinan di Indonesia masih ada yang dilakukan di rumah tanpa bantuan seorang tenaga persalinan terlatih. Hal tersebut terjadi karena harganya lebih murah dan mereka lebih nyaman dengan seseorang yang mereka kenal dan percaya atau karena masih belum memadainya pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan sehingga masyarakat tidak dapat menjangkaunya, terutama di pedesaan. Sebenarnya, masalah tersebut dapat dicegah dengan pemakaian alat kontrasepsi. Namun, alat kontrasepsi tidak mudah dijangkau oleh masyarakat sehingga mengakibatkan meningkatnya AKI (SDKI, 2012 ; Profil Kesehatan KEMENKES RI, 2009).
Dalam menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) diperlukan strategi yang efektif yaitu meningkatkan upaya kesehatan. Upaya kesehatan yang dapat diberikan adalah dengan asuhan persalinan normal dengan paradigma baru yaitu dari sikap menunggu dan menangani komplikasi menjadi mencegah komplikasi yang mungkin terjadi. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan mendekatkan pelayanan kebidanan kepada setiap ibu yang membutuhkannya. Penempatan bidan harus adil dan merata sehingga tidak ada kesenjangan penempatan bidan baik di perkotaan maupun di pedesaan. Dalam upaya tersebut harus bersifat non-diskriminatif dimana setiap ibu yang membutuhkan pertolongan bidan wajib memperoleh pelayanan tersebut. Selain itu, ketersediaan pelayanan kebidanan harus berkualitas, terjamin keamanannya, efektif dan sesuai serta pembiayaan pelayanan kesehatan harus terjangkau oleh ibu yang membutuhkannya (SDKI, 2012 ; Profil Kesehatan KEMENKES RI, 2009).
Masih mahalnya pembiayaan pelayanan kebidanan bagi ibu di kalangan miskin dapat diatasi dengan adanya asuransi bagi ibu hamil dimana asuransi tersebut merupakan tanggung jawab dari pemerintah, masyarakat dan swasta. Asuransi tersebut harus bersifat efektif, efisien, adil dan transparan. Jadi, pemerintah harus menjangkau pembiayaan persalinan secara efektif dan efisien serta adil dan transparan bagi ibu hamil. Sebenarnya, AKI dapat dicegah dengan pemakaian alat kontrasepsi. Namun, alat kontrasepsi masih sulit dijangkau oleh ibu-ibu di kalangan miskin. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah menyediakan alat kontrasepsi yang aman, berkhasiat, bermanfaat dan bermutu dimana alat kontrasepsi tersebut tersedia secara merata dan terjangkau. Selain itu, masyarakat juga harus mendapatkan informasi yang benar, lengkap dan tidak menyesatkan tentang alat kontrasepsi dari produsen, distributor maupun pelaku pelayanan kesehatan (SDKI, 2012 ; Profil Kesehatan KEMENKES RI, 2009).
Semua program yang diimplementasikan pemerintah kepada ibu-ibu tidak akan berjalan optimal tanpa adanya perubahan perilaku dari ibu-ibu. Oleh karena itu, perlu adanya pemberdayaan masyarakat yang dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan, serta menjadi penggerak dalam menurunkan AKI. Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan kemitraan berbagai pihak, dimana pemerintah berperan untuk membuka akses informasi dan dialog, menyiapkan regulasi dan menyiapkan masyarakat dengan membekalinya dengan pengetahuan dan ketrampilan bagi ibu-ibu maupun masyarakat dan ibu-ibu maupun masyarakat dapat berpartisipasi dengan memberikan kritikan yang membangun untuk menurunkan AKI (SDKI, 2012 ; Profil Kesehatan KEMENKES RI, 2009).
Angka Kematian Bayi (AKB) terjadi akibat BBLR, asfiksia lahir ataupun dipengaruhi oleh kondisi ibu saat melahirkan. Selain itu, kematian perinatal dapat dipengaruhi oleh status ekonomi (kemiskinan) sehingga menyebabkan bayi berpotensi memiliki gizi buruk dan status kesehatan yang buruk pula. Dalam menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) diperlukan strategi yang efektif yaitu meningkatkan upaya kesehatan. Upaya kesehatan yang dapat diberikan adalah dengan asuhan persalinan normal dengan paradigma baru yaitu dari sikap menunggu dan menangani komplikasi menjadi mencegah komplikasi yang mungkin terjadi. Hal tersebut dapat menurunkan AKB karena bayi dilahirkan dengan selamat pada saat persalinan. Selain itu, pemerintah juga memberikan makanan dan/atau minuman khusus ibu hamil secara gratis kepada ibu hamil seperti susu khusus ibu hamil dan biscuit khusus ibu hamil. Hal tersebut dilakukan setiap seminggu sekali sehingga ibu-ibu hamil di Indonesia dapat memperoleh nutrisi dan upaya tersebut harus dilakukan secara adil dan merata baik di perkotaan maupun pedesaan. Selain itu, ketersediaan nutrisi tersebut harus berkualitas, terjamin keamanannya, efektif dan sesuai (SDKI, 2012 ; Profil Kesehatan KEMENKES RI, 2009, 2014).
Pemerintah harus mampu menciptakan nutrisi untuk ibu-ibu hamil baik dalam berupa makanan atau minuman atau inovasi yang lainnya dimana nutrisi tersebut memberikan tambahan nutrisi untuk ibu-ibu hamil sehingga anak yang akan dilahirkan selamat baik secara fisik maupun kecerdasannya. Nutrisi tersebut harus diberikan secara gratis kepada ibu-ibu hamil secara merata baik di perkotaan maupun di pedesaan. Bahan baku dari nutrisi tersebut harus bersumber dari dalam negeri. Selain itu, pemerintah harus mampu menciptakan imunasi yang lebih efektif daripada imunisasi sebelumnya melalui inovasi/kreatifitas yang dikelola secara profesional, sistematis dan berkesinambungan sehingga tidak terdapat lagi anak-anak Indonesia yang menderita polio dan menyebabkan kelumpuhan (SDKI, 2012 ; Profil Kesehatan KEMENKES RI, 2009, 2014).
Program pemerintah yang diimplementasikan untuk menurunkan AKB akan berjalan optimal apabila pemerintah memberdayakan masyarakat untuk ikut andil dalam program yang diimplementasikan. Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan kemitraan berbagai pihak, dimana pemerintah berperan untuk membuka akses informasi dan dialog, menyiapkan regulasi dan menyiapkan masyarakat dengan membekalinya dengan pengetahuan dan ketrampilan bagi ibu-ibu, orang tua maupun masyarakat dan ibu-ibu, orang tua maupun masyarakat dapat berpartisipasi dengan memberikan kritikan yang membangun untuk menurunkan AKB (SDKI, 2012 ; Profil Kesehatan KEMENKES RI, 2009, 2014).




Daftar Pustaka
1.      McCharty J, Maine DA. Framework for analysis the determinants of maternal Mortality. Studies in Family Planing. 1992; 23 (1): 23-33.
2.      Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. Angka kematian ibu melahirkan. Jakarta: 2011 [diakses tanggal 10 Juni 2016]. Diunduh dalam:http://www.menegpp. go.id/V2/index.php/datadaninformasi/kesehatan.
3.      Mujianti, Inti. 2012. Situasi Keluarga Berencana di Indonesia. Buletin data dan informasi kesehatan KEMENKES : Jakarta
4.      Badan Pusat Statistik (2008). Survei Demografi dan Kesehatan 2007, Jakarta.
5.      Badan Pusat Statistik (2011). Fertilitas Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010, Jakarta.
6.      Badan Pusat Statistik (2013). Survei Demografi dan Kesehatan 2012, Jakarta.
7.      Badan Pusat Statistik (2015). Survei Demografi dan Kesehatan 2015, Jakarta
8.      Kementerian Kesehatan. Laporan Nasional Riset Fasilitas Kesehatan 2011, Badan Litbang Kesehatan, Jakarta, 2012.
9.      Kementerian Kesehatan. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2012, Badan Litbang Kesehatan, Jakarta 2013.
10.  Population Reference Bureau. Family Planning Worldwide 2008 Data Sheet, Washington.
11.  World Health Organization. World Health Statistics 2013, Italia World Health Organization, 2013.
12.  Wati, SL. 2013. Gambaran penyebab kematian neonatal di rumah sakit umum daerah dr. Moewardi. Fakultas kesehatan universitas muhamadyah Surakarta
13.  Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2012. Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia. Jakarta:Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.
14.  Stalker, Peter. 2008. Millenium Development Goals. BAPPENAS dan UNDP.
15.  Departemen Kesehatan RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta:Departemen Kesehatan RI