Senin, 17 Juli 2017
Kamis, 25 Mei 2017
Senin, 03 April 2017
Strategi Pemerintah Dalam Mengurangi Tingkat Kemiskinan Indonesia
Kemiskinan adalah istilah yang
sangat popular, sering digunakan oleh pemerintah, akademisi/peneliti bahkan
orang biasa untuk menggambarkan keadaan seseorang di bawah batas istilah
sederhana. Pada zaman dahulu kemiskinan dipahami sebagai kekurangan pada bidang
sandang, pangan dan papan. Saat ini, kemiskinan lebih luas lagi maknanya dan
mencakup bidang ekonomi (pendapatan), pendidikan dan kesehatan serta
aspek-aspek lain dalam kehidupan manusia, contohnya aspek informasi.
Bagi saya informasi sangat penting dalam kehidupan manusia, karena dengan informasilah seseorang memperoleh pengetahuan tanpa pergi jauh. Pada tahun 2015 data statistik tumbuh mencapai 2,5 quintillion per hari (http://databoks.co.id/) dan kecepatan internet Indonesia mengalami kenaikan menjadi 200%. Ini artinya kita dapat mengakses 90% informasi terbaru melalui data statistik yang tersedia dalam dua tahun terakhir dengan kecepatan internet 6, 7 Mbps (http://databoks.co.id/). Hal ini tentunya membuat dunia serasa menjadi satu rukun tetangga (RT). Mengapa ? Karena setiap peristiwa diberbagai belahan bumi dapat kita simak secepatnya melalui teknologi televisi, internet, radio dan teknologi lainnya.
Kemiskinan merupakan persolan rumit dan utuh serta ibarat penyakit yang terus menerus berlangsung dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Mengapa demikian? Ada jutaan anak tidak dapat mengenyam pendidikan berkualitas, ada ribuan bahkan jutaan orang di Negeri ini belum mampu membiayai kesehatan mereka, ada banyak daerah masih terisolir dan menyebabkan akses pelayanan publik seolah tidak pernah ada bagi mereka, kasus gizi buruk bahkan persoalan-persoalan lain yang melilit hidup mereka. Tidak mengherankan apabila kita mendengar banyak orang berbondong-bondong menuju ke kota untuk sebuah tujuan, yaitu mencari pekerjaan atau banyak pemuda-pemudi meninggalkan kampung untuk mencari pekerjaan ke Negara lain demi memenuhi tuntutan hidup dengan menjadi TKI. Statistic Indonesia 2017 mencatat jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang meninggal di luar negeri pada tahun 2016 mencapai 247 jiwa, terjadi peningkatan sebesar 42% dari tahun sebelumnya (http://databoks.co.id/)
Problema ini telah ada dan terjadi sepanjang sejarah berdirinya Negeri kita Indonesia. Karena itu, sudah seharusnya strategi dalam menanggulangi kemiskinanan membutuhkan analisis yang tepat, keterlibatan seluruh komponen persoalan dan berkelanjutan. Ada sejumlah variabel yang dapat digunakan untuk melacak persoalan kemiskinan di Indonesia sehingga strategi dan kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan tepat sasaran dan berkesinambungan. Sebagai contoh, di bidang pendidikan databoks.katadata.co.id menujukkan bahwa 52% penduduk miskin berpendidikan SD/SMP sebagai penyebab kemiskinan.
Bagi saya informasi sangat penting dalam kehidupan manusia, karena dengan informasilah seseorang memperoleh pengetahuan tanpa pergi jauh. Pada tahun 2015 data statistik tumbuh mencapai 2,5 quintillion per hari (http://databoks.co.id/) dan kecepatan internet Indonesia mengalami kenaikan menjadi 200%. Ini artinya kita dapat mengakses 90% informasi terbaru melalui data statistik yang tersedia dalam dua tahun terakhir dengan kecepatan internet 6, 7 Mbps (http://databoks.co.id/). Hal ini tentunya membuat dunia serasa menjadi satu rukun tetangga (RT). Mengapa ? Karena setiap peristiwa diberbagai belahan bumi dapat kita simak secepatnya melalui teknologi televisi, internet, radio dan teknologi lainnya.
Kemiskinan merupakan persolan rumit dan utuh serta ibarat penyakit yang terus menerus berlangsung dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Mengapa demikian? Ada jutaan anak tidak dapat mengenyam pendidikan berkualitas, ada ribuan bahkan jutaan orang di Negeri ini belum mampu membiayai kesehatan mereka, ada banyak daerah masih terisolir dan menyebabkan akses pelayanan publik seolah tidak pernah ada bagi mereka, kasus gizi buruk bahkan persoalan-persoalan lain yang melilit hidup mereka. Tidak mengherankan apabila kita mendengar banyak orang berbondong-bondong menuju ke kota untuk sebuah tujuan, yaitu mencari pekerjaan atau banyak pemuda-pemudi meninggalkan kampung untuk mencari pekerjaan ke Negara lain demi memenuhi tuntutan hidup dengan menjadi TKI. Statistic Indonesia 2017 mencatat jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang meninggal di luar negeri pada tahun 2016 mencapai 247 jiwa, terjadi peningkatan sebesar 42% dari tahun sebelumnya (http://databoks.co.id/)
Problema ini telah ada dan terjadi sepanjang sejarah berdirinya Negeri kita Indonesia. Karena itu, sudah seharusnya strategi dalam menanggulangi kemiskinanan membutuhkan analisis yang tepat, keterlibatan seluruh komponen persoalan dan berkelanjutan. Ada sejumlah variabel yang dapat digunakan untuk melacak persoalan kemiskinan di Indonesia sehingga strategi dan kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan tepat sasaran dan berkesinambungan. Sebagai contoh, di bidang pendidikan databoks.katadata.co.id menujukkan bahwa 52% penduduk miskin berpendidikan SD/SMP sebagai penyebab kemiskinan.
Strategi
Pemerintah Mengurangi Tingkat Kemiskinan
Seperti yang dilansir kompas.com. Ada beberapa strategi nyata Presiden Republik Indonesia ke-7, Bapak Presiden Joko Widodo dalam menekan kemiskinan dan pengembangan hidup berkelanjutan di Indonesia yaitu : Penciptaan lapangan kerja dan UMKM. Program prioritas untuk mencapai sasaran meliputi ; mengurangi beban penduduk miskin, bantuan tunai bersyarat, Program Perlindungan Sosial melalui Program Keluarga Harapan, penyediaan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), memperbaiki kebijakan penyaluran raskin, layanan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu melalui Kartu Indonesia Sejahtera (KIS), layanan beasiswa kurang mampu melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan program SJSN ketenagakerjaan.
Selain itu, beberapa strategi nyata melalui pembangunan masyarakat desa, pemberian beasiswa, perbaikan kebijakan penyaluran dana bantuan sosial, pemberdayaan jaminan sosial nasional, mempertahankan daya beli penduduk miskin, dana amanah, pembangunan rumah bagi fakir miskin dan pemberdayaan nelayan serta petani Indonesia.
Dari serangkaian strategi penanggulangan kemiskinan, ada beberapa strategi pemerintah yang berorientasi pada material sehingga diperlukan kajian. Strategi yang orientasinya material belum tentu menjamin keberlanjutan program atau strategi tersebut karena sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah.
Seperti yang dilansir kompas.com. Ada beberapa strategi nyata Presiden Republik Indonesia ke-7, Bapak Presiden Joko Widodo dalam menekan kemiskinan dan pengembangan hidup berkelanjutan di Indonesia yaitu : Penciptaan lapangan kerja dan UMKM. Program prioritas untuk mencapai sasaran meliputi ; mengurangi beban penduduk miskin, bantuan tunai bersyarat, Program Perlindungan Sosial melalui Program Keluarga Harapan, penyediaan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), memperbaiki kebijakan penyaluran raskin, layanan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu melalui Kartu Indonesia Sejahtera (KIS), layanan beasiswa kurang mampu melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan program SJSN ketenagakerjaan.
Selain itu, beberapa strategi nyata melalui pembangunan masyarakat desa, pemberian beasiswa, perbaikan kebijakan penyaluran dana bantuan sosial, pemberdayaan jaminan sosial nasional, mempertahankan daya beli penduduk miskin, dana amanah, pembangunan rumah bagi fakir miskin dan pemberdayaan nelayan serta petani Indonesia.
Dari serangkaian strategi penanggulangan kemiskinan, ada beberapa strategi pemerintah yang berorientasi pada material sehingga diperlukan kajian. Strategi yang orientasinya material belum tentu menjamin keberlanjutan program atau strategi tersebut karena sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah.
Sabtu, 25 Maret 2017
Arti Kehadiran di Dunia
Oleh : Yostan A. Labola
Setiap pribadi sudah tentu memiliki kisah tentang kehidupannya. Ada senyum, sedih, tawa bahkan tangis bila diuraikan kisah hidup itu. Sebenarnya hidup itu indah bila dilandasi rasa syukur terhadap setiap persoalan yang dialami. Menarik untuk direnung lebih jauh tentang siapa dan arti kehadiran kita. Ada yang terlahir tanpa merasakan kerasnya hidup namun sejujurnya hidupku berbeda dari itu. Semaraknya hidup menyenangkan jauh dari harapan karena bagiku dunia terasa garang dari segi keberadaan dan jauh dari istilah kesederhaan. Mungkinkah keadaan seperti itu dapat menarik setiap insan untuk mendekat? Jawabannya adalah kemungkinan saja ya dan tidak.
Lalu
untuk apa aku hadir di dunia ini, berada pada tempat tertentu dan waktu tertentu.
Ada makna, sekecil apapun yang diperbuat memiliki arti bagi setiap manusia yang
mampu merenungkan siapa dia dan dari mana dia datang. Ya!!! Setiap orang tidak
akan pernah melangkah ke sana jika tidak pernah mencoba mendekatkannya pada
hukum alam. Benarkah besar gaya tarik gravitasi bumi 9, 8 m/s2 ? Belum
tentu. Karena pada setiap ketinggian akan memiliki nilai yang berbeda walaupun
selisihnya kecil.
Realita
membuktikan bahwa kehadiranku tidak bermanfaat bagi mereka yang hidup dalam
dunia berbeda dan keadaan berbeda. Namun, bagi sebagian yang memahaminya, besar
arti kehadiranku bagi mereka. Tidak harus berkuantitas besar untuk menarik
mereka mendekat, sekecil apapun ketulusan itu akan terasa berkualitas bagi
dunia. Jangankan hidupmu, goresan tanganmu akan mampu membawa mereka-mereka
yang sanggup melihat lebih jauh tentang siapa dirimu kepada dunia.
Dunia
akan melihatmu, memandangmu lebih dekat dan memberimu ucapan selamat. Jangan
pesimis bahwa hanyalah kata-kata yang bisa diperoleh namun optimislah bahwa
waktu masih berdetak dan meninggalkan jejak sebagai referensi hidup. Bumi masih
kembali keperaduannya walaupun pergi bersama ceritanya dan mengelilingi tata
surya, benda-benda pun masih melekat padanya tanpa satupun pergi ke alam
semesta. Jadi, tetaplah dengan kesederhaanmu tanpa meninggalkan kualitas
hidupmu.
Sabtu, 02 Juli 2016
KAJIAN TERHADAHAP ANATOMI KEMATIAN IBU DAN BAYI DI INDONESIA
A. Pendahuluan
Secara
umum, sampai pada tahun 2015 Indonesia telah mampu menekan kematian ibu dan
bayi, namun
masih jauh dari target MDGs tahun 2015 (RENSTRA KEMENKES, 2015-2019).
Peristiwa kematian ibu dan bayi baru lahir banyak terjadi ketika persalinan,
pasca persalinan dan hari-hari awal kehidupan bayi merupakan tragedy yang terus
terjadi di Indonesia. Hal ini tentunya
memerlukan berbagai upaya dengan inovasi baru untuk meminimalkan peristiwa
tersebut (DEPKES-RAN-PP-AKI, 2013-2015).
Salah satu cara untuk menurunkan AKI di Indonesia adalah
dengan persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan yang terlatih dan melakukan
persalinan difasilitas pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan terlatih yaitu
dokter spesialis kebidanan dan kandungan (SpOG), dokter umum, dan bidan.
Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013 cakupan pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan secara nasional pada tahun 2013 adalah sebesar
90,88%. Cakupan ini terus menerus meningkat dari tahun ke tahun. Sementara itu jika dilihat dari cakupan
persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan yang terlatih menurut provinsi
di Indonesia pada tahun 2013, tiga provinsi dengan cakupan tertinggi adalah
provinsi Jawa Tengah dengan cakupan 99,89%, Sulawesi Selatan 99,78%, dan
Sulawesi Utara 99,59%. Tiga provinsi dengan cakupan terendah adalah Papua
33,31%, Papua Barat (73,20%) dan NTT (74,08%).
Angka
kematian ibu di Propinsi NTT pada tahun 2014 mengalami penurunan drastis dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2008 tergolong tinggi di Indonesia yaitu
mencapai 330 orang namun pada 2014 turun menjadi 159 orang per 1.000 kelahiran.
Penurunan drastis ini karena program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
dioperasionalkan dengan misi agar indikator angka kematian di NTT pada
2008-2014 sama dengan pencapaian secara nasional atau satu digit di bawahnya.
Penurunan drastis dialami karena pada 2014 sudah 87 persen ibu hamil (bumil)
melahirkan di fasilitas kesehatan. Sementara pada 2007, masih 77,7 persen ibu
hamil melahirkan di rumah dengan dibantu dukun kampong (Profil Dinas Kesehatan
NTT, 2014).
Dinas
Kesehatan Nusa Tenggara Timur mengklaim revolusi kesehatan ibu dan anak di NTT
sudah berhasil. Ukurannya makin banyak ibu hamil yang melahirkan di fasilitas
kesehatan. Program ini, diluncurkan untuk menekan angka kematian ibu dan bayi
yang sangat tinggi saat itu. Angka kematian ibu di NTT sudah bisa ditekan,
namun angka kematian bayi belum bisa ditekan. Tahun 2010, angka kematian bayi NTT,
lebih dari seribu seratus bayi. Tahun 2011, lebih dari 1200 bayi dan tahun
2012, bayi di NTT yang meninggal mencapai 1450 bayi (Profil Dinas Kesehatan
NTT, 2014).
Selain itu usaha yang dilakukan untuk menurunkan AKI dan AKB
adalah memberi pelayanan pada ibu hamil dan ibu bersalin secara cermat dan
tepat. Dalam upaya menurunkan angka kematian ibu, pemerintah menerapkan
strategi Making Pregnancy Safer (MPS) yang dimulai pada tahun 2000. MPS
mempunyai visi agar kehamilan dan persalinan di Indonesia berlangsung aman dan
bayi yang dilahirkan hidup dan sehat (Prawirohardjo, 2009).
B. Kematian Ibu
Angka
kematian ibu juga merupakan salah satu target yang telah ditentukan dalam
tujuan pembangunan millenium yaitu tujuan ke 5 yaitu meningkatkan kesehatan ibu
dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai ¾
resiko jumlah kematian ibu. Dari hasil survei yang dilakukan AKI telah
menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu, namun demikian upaya untuk
mewujudkan target tujuan pembangunan millenium masih membutuhkan komitmen dan
usaha keras yang terus menerus.
a. Jumlah
Kematian Ibu di Indonesia
Jumlah
angka kematian ibu antara tahun 1991 sampai dengan tahun 2012 dapat di lihat
pada gambar 1.
Gambar
1. Angka kematian ibu di indonesia
tahun 1991 – 2012
(Sumber:
BPS, SDKI 1991-2012)
Dari
Gambar 1 tersebut dapat dilihat bahwa AKI di Indonesia sejak tahun 1991 hingga
2007 mengalami penurunan dari 390 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Sejak
tahun 1990 pemerintah telah melakukan upaya strategis dalam upaya menekan AKI
dengan pendekatan safe motherhood yaitu memastikan semua wanita
mendapatkan perawatan yang dibutuhkan sehingga selamat dan sehat selama
kehamilan dan persalinannya. Di Indonesia, Safe Motherhood Initiative
ditindaklanjuti dengan peluncuran program Gerakan Sayang Ibu di tahun 1996
oleh presiden yang melibatkan berbagai sektor pemerintahan disamping sektor
kesehatan.
Salah
satu program utama yang ditujukan untuk mengatasi masalah kematian ibu adalah
penempatan bidan di tingkat desa secara besar-besaran yang bertujuan untuk
mendekatkan akses pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir ke masyarakat.
Pada tahun 2000 Kementerian Kesehatan RI memperkuat strategi intervensi sektor
kesehatan untuk mengatasi kematian ibu dengan mencanangkan strategi Making
Pregnancy Safer (Profil Kesehatan
RI, 2014).
Namun,
pada tahun 2012 SDKI kembali mencatat kenaikan AKI yang signifikan, yakni dari
228 menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Oleh karena itu, pada
tahun 2012 Kementerian Kesehatan meluncurkan program Expanding Maternal and
Neonatal Survival (EMAS) dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan
neonatal sebesar 25%. Program ini dilaksanakan di provinsi dan kabupaten dengan
jumlah kematian ibu dan neonatal yang besar, yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan provinsi
tersebut dikarenakan 52,6% dari jumlah total kejadian kematian ibu di Indonesia
berasal dari enam provinsi tersebut. Sehingga dengan menurunkan angka kematian
ibu di enam provinsi tersebut diharapkan akan dapat menurunkan angka kematian
ibu di Indonesia secara signifikan (Profil
Kesehatan RI, 2014). Untuk mencapai MDG-5 Indonesia 2015 maka diperlukan
pencegahan terhadap kematian ibu (gambar 2).
|
Gambar 2. Kematian
ibu yang harus dicegah untuk mencapai MDG-5 2015
Kematian ibu merupakan
peristiwa kompleks yang disebabkan oleh berbagai penyebab yang dapat dibedakan
atas determinan dekat, antara, dan jauh. Determinan dekat berupa gangguan
obstetrik seperti perdarahan, preeklamsi/eklamsi, dan infeksi atau penyakit
yang diderita ibu sebelum atau selama kehamilan yang dapat memperburuk kondisi
kehamilan seperti jantung, malaria, tuberkulosis, ginjal, dan acquired
immunodeficiency syndrome. Determinan
antara berhubungan dengan faktor kesehatan, seperti status kesehatan ibu,
status reproduksi, akses terhadap pelayanan kesehatan, dan perilaku penggunaan
fasilitas kesehatan sedangkan determinan jauh berhubungan dengan faktor
demografi dan sosiokultural (McCharty dan Maine, 1992).
Kesadaran masyarakat
yang rendah tentang kesehatan ibu hamil, pemberdayaan perempuan yang tidak
maksimal, latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan
masyarakat dan politik, serta kebijakan secara tidak langsung ikut berperan
dalam meningkatkan kematian ibu (Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI,
2011). AKI yang tinggi di suatu wilayah pada dasarnya menggambarkan derajat
kesehatan masyarakat yang rendah dan berpotensi menyebabkan kemunduran ekonomi
dan sosial di level rumah tangga, komunitas, dan nasional.
c.
Penyebab
Langsung Kematian Ibu di Indonesia
Penyebab
kematian langsung merupakan akibat komplikasi kehamilan, persalinan, atau masa
nifas, dan segala intervensi atau penanganan tidak tepat dari komplikasi
tersebut. Kematian ibu langsung
mencakup kematian ibu akibat penyulit obstetri pada kehamilan,
persalinan, atau masa nifas, dan akibat dari intervensi, kelalaian, kesalahan
terapi, atau rangkaian kejadian yang disebabkan oleh faktor-faktor tersebut.
Contohnya adalah kematian ibu akibat perdarahan karena ruptur uteri (Cunningham,
2005).
d.
Penyebab
Tidak Langsung Kematian Ibu di Indonesia
Kematian
ibu tidak langsung merupakan akibat dari penyakit yang sudah ada atau penyakit
yang timbul sewaktu kehamilan yang berpengaruh terhadap kehamilan, misalnya
malaria, anemia, HIV/AIDS, dan penyakit kardiovaskular (Prawirohardjo, 2008). Kematian
ibu tidak langsung mencakup kematian ibu yang tidak secara langsung disebabkan
oleh kausa obstetri, melainkan akibat penyakit yang sudah ada sebelumnya, atau
suatu penyakit yang timbul saat hamil, melahirkan, atau masa nifas, tetapi
diperberat oleh adaptasi fisiologis ibu terhadap kehamilannya. Contohnya adalah
kematian ibu akibat penyulit stenosis mitral (Cunningham, 2005).
C. Kematian Bayi
a.
Kematian
Neotanal Bayi
Sebagian besar umur
Neonatal kurang dari 10 hari. Berat badan neonatal pada saat lahir kurang dari
2500 gram. Berdasarkan Neonatal meninggal disebabkan berat badan lahir rendah.
Sebagian besar kematian Neonatal karena infeksi banyak dipengaruhi pada saat
kehamilan ibu (antenatal). Sebagian besar kematian Neonatal karena Asfiksia
banyak pada tingkat asfiksia berat (Wati, 2013).
b.
Penyebab
Kematian Neotanal Bayi
Kematian neonatus
terjadi karena neonatus komplikasi. Neonatus komplikasiadalah neonatus dengan
penyakit dan atau kelainan yang didapat menyebabkan kecacatan dan atau
kematian, seperti asfiksia, ikterus, hipotermia, tetanus neonatorum,
infeksi/sepsis, trauma lahir, BBLR (Berat lahir < 2500 gram), sindrom
gangguan pernapasan, dan kelainan kongenital (WHO, 2012). Determinan kematian
neonatus menurut WHO pada tahun 2012 yaitu Permaturitas dan BBLR (30%), Infeksi
neonatus (25%), Asfiksia dan trauma lahir (23%), Kelainan kongenital (7%),
Tetanus Neonatorum (3%), Diare (3%), dan penyebab lain (9%).
Gambar
3. Kecenderungan kematian bayi di Indonesia (Depkes)
c. Angka Kematian Bayi Indonesia
Angka Kematian Bayi
(AKB) atau Infant Mortality Rate merupakan indikator yang lazim digunakan untuk
menentukan derajat kesehatan masyarakat, baik pada tatanan provinsi maupun
nasional. AKB merujuk pada jumlah bayi yang meninggal pada fase antara
kelahiran hingga bayi belum mencapai umur 1 tahun per 1.000 kelahiran hidup.
Saat ini Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia adalah tertinggi dibandingkan
dengan negara ASEAN lainnya. Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) 2007, Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia 34 per 1000
kelahiran hidup (Depkes, 2009). Bila dirincikan 157.000 bayi meninggal
dunia per tahun atau 430 bayi meninggal dunia per hari.
|
Gambar 3.
Kecenderungan kematian bayi di Indonesia (Depkes)
|
Gambar
3. Kecenderungan kematian bayi di Indonesia (Depkes)
D. Beberapa Upaya Untuk Menurunkan Kematian
Ibu dan Bayi
a.
Penguatan Pelayanan KB
Pasca Persalinan
Pelayanan
KB pasca persalinan merupakan strategi yang penting dari kesehatan masyarakat
dengan keuntungan yang signifikan terhadap ibu dan bayinya. Idealnya pemilihan
kontrasepsi pasca persalinan, telah diperkenalkan pada saat kehamilan agar
tidak terlambat untuk mendapatkannya karena pada umumnya wanita mulai
menggunakan kontrasepsi pada minggu keenam pasca persalinan. Pelayanan KB Pasca
Persalinan merupakan salah satu program strategis untuk menurunkan kehamilan
yang tidak diinginkan (Mujianti dalam
data dan informasi kesehatan KEMENKES, 2013).
Seorang ibu yang
baru melahirkan bayi biasanya lebih mudah untuk diajak menggunakan kontrasepsi,
sehingga waktu setelah melahirkan adalah waktu yang paling tepat untuk mengajak
seorang ibu menggunakan kontrasepsi. Tujuan pelayanan KB Pasca Persalinan
adalah untuk mengatur jarak kehamilan/kelahiran, dan menghindari kehamilan yang
tidak diinginkan, sehingga setiap keluarga dapat merencanakan kehamilan yang
aman dan sehat.
Pelayanan KB
pasca persalinan dimulai dengan pemberian informasi dan konseling yang sudah
dimulai sejak masa kehamilan. Tenaga kesehatan sebagai pemberi pelayanan
memegang peranan penting dalam memberikan informasi dan konseling KB pasca persalinan
kepada calon peserta KB (Mujianti
dalam data dan informasi kesehatan KEMENKES, 2013).
KB Pasca
Persalinan dilaksanakan pada periode menyusui. Rekomendasi Hasil Kajian Health
Technology Assesment (HTA) Indonesia, tahun 2009, tentang KB pada Periode
Menyusui adalah sebagai berikut:
1. Wanita pada periode menyusui
direkomendasikan untuk menggunakan kontrasepsi KB sebelum terjadi ovulasi
pertama kali sekitar 155 ± 45 hari.
2.
Bahwa Pemberian ASI Eksklusif menunda
terjadinya ovulasi.
3.
Metode kontrasepsi progestin tidak
mengganggu volume dan kandungan nutrisi Air Susu Ibu.
4.
Kontrasepsi pil progestin (progestin-only
minipills) dapat mulai diberikan dalam 6 minggu pertama pasca persalinan.
Namun, bagi wanita yang mengalami keterbatasan akses terhadap pelayanan
kesehatan, minipil dapat segera digunakan dalam beberapa hari (setelah 3 hari)
pasca persalinan.
5.
Kontrasepsi suntikan progestin/ Depo
Medroxy Progesteron Acetat (DMPA) pada minggu pertama (7 hari) atau minggu
keenam (42 hari) pasca persalinan terbukti tidak menimbulkan efek negatif
terhadap menyusui maupun perkembangan bayi.
6.
Penggunaan DMPA jangka panjang (> 2
tahun) terbukti menurunkan densitas mineral tulang sebesar 5-10% pertahun.
Namun, WHO merekomendasikan tidak adanya pembatasan lama penggunaan DMPA bagi
wanita usia 18-45 tahun.
7.
Tidak terdapat hubungan antara durasi
penggunaan DMPA dengan peningkatan risiko kanker payudara.
8.
Kontrasepsi implan merupakan pilihan
bagi wanita menyusui dan aman digunakan selama masa laktasi, minimal 4 minggu
pasca persalinan.
9.
AKDR pasca plasenta aman dan efektif,
tetapi tingkat ekspulsinya lebih tinggi dibandingkan ekspulsi ≥ 4 minggu pasca
persalinan. Ekspulsi dapat diturunkan dengan cara melakukan insersi AKDR dalam
10 menit setelah ekspulsi plasenta, memastikan insersi mencapai fundus uterus,
dan dikerjakan oleh tenaga medis dan paramedis yang terlatih dan berpengalaman.
10. Jika
48 jam pasca persalinan telah lewat, insersi AKDR ditunda sampai 4 minggu atau
lebih pasca persalinan
11. AKDR
4 minggu pasca persalinan aman dengan menggunakan AKDR copper T, sedangkan
jenis non copper memerlukan penundaan sampai 6 minggu pasca persalinan.
12. Penggunaan
kontrasepsi kombinasi oral dalam 6 bulan pasca persalinan dapat menurunkan
volume ASI pada wanita menyusui.
13. Pada
negara-negara dengan keterbatasan akses terhadap kontrasepsi, MAL dapat
direkomendasikan untuk digunakan.
14. Metode
Amenore Laktasi (MAL) efektif mencegah kehamilan pada wanita menyusui pasca
persalinan yang memenuhi kriteria sebagai berikut: amenorea, pemberian ASI
eksklusif, proteksi terbatas pada 6 bulan pertama. MAL dapat dipertimbangkan
penggunaannya pada daerah dengan keterbatasan akses terhadap kontrasepsi.
Mengacu
pada rekomendasi HTA tersebut, semua metode baik hormonal maupun non
hormonal dapat digunakan sebagai metode dalam pelayanan KB Pasca Persalinan.
Metode tersebut meliputi:
a. Non
hormonal
1. Metode
Amenore Laktasi (MAL).
2. Kondom.
3. Alat
Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR).
4. Abstinensia
(Kalender).
5. Kontrasepsi
Mantap (Tubektomi dan Vasektomi).
b. Hormonal
1. Progestin:
pil, injeksi dan implan.
2. Kombinasi:
pil dan injeksi.
b.
Penguatan Konseling KB Pasca
Persalinan
Dalam
pelayanan KB pasca persalinan, sebelum mendapatkan pelayanan kontrasepsi, klien
dan pasangannya harus mendapat informasi dari petugas kesehatan secara lengkap,
jelas dan benar agar dapat menentukan pilihannya dengan tepat. Pelayanan KB
pasca persalinan akan berjalan dengan baik bila didahului dengan konseling yang
baik, dimana klien berada dalam kondisi yang sehat, sadar, dan tidak di bawah
tekanan ataupun tidak dalam keadaan kesakitan (Mujianti dalam data dan informasi kesehatan
KEMENKES, 2013).
Konseling
pelayanan KB pasca persalinan dapat menggunakan media lembar balik Alat Bantu
Pengambilan Keputusan (ABPK) ber-KB. Konseling KB pasca persalinan ini dapat
dilaksanakan pada waktu pemeriksaan kehamilan, saat mengisi amanat persalinan
dalam P4K dan saat mengikuti kelas ibu hamil, selama proses persalinan, pasca
persalinan, dan sebelum/sesudah pelayanan kontrasepsi. Setelah dilakukan
konseling pada klien dan sudah ditentukan metode kontrasepsi yang dipilih,
klien memberikan persetujuannya berupa tanda tangan pada lembar persetujuan
tindakan medis (informed consent) untuk metode KB AKDR, implan serta
kontrasepsi mantap (tubektomi dan vasektomi) (Mujianti dalam data dan informasi kesehatan
KEMENKES, 2013)
c.
Pencatatan dan Pelaporan KB Pasca
Persalinan
Secara sederhana, jumlah target atau sasaran peserta
KB Pasca Persalinan adalah pasangan usia subur yang isterinya sedang dalam
kondisi masa nifas (sampai 42 hari pasca persalinan). Agar hasil pelayanan KB
Pasca Persalinan dapat menggambarkan kinerja seorang tenaga kesehatan maka
semua kegiatan pelayanan KB pasca persalinan yang dilaksanakan di seluruh
fasilitas pelayanan kesehatan harus dicatat dalam format yang ada (kohort KB,
kohort Nifas, kartu status peserta KB/K4, dan F2 KB) dan kemudian dilaporkan
kepada Dinas (Mujianti dalam data dan
informasi kesehatan KEMENKES, 2013).
E. Kesimpulan
Angka Kematian Ibu (AKI) terjadi
akibat komplikasi pada saat persalinan sehingga dapat menimbulkan konsekuensi
yang sangat serius. Selain itu, penyebab langsung kematian maternal yang paling
umum di Indonesia adalah pendarahan, eklamasi, dan infeksi. Persalinan di
Indonesia masih ada yang dilakukan di rumah tanpa bantuan seorang tenaga
persalinan terlatih. Hal tersebut terjadi karena harganya lebih murah dan
mereka lebih nyaman dengan seseorang yang mereka kenal dan percaya atau karena
masih belum memadainya pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan sehingga
masyarakat tidak dapat menjangkaunya, terutama di pedesaan. Sebenarnya, masalah
tersebut dapat dicegah dengan pemakaian alat kontrasepsi. Namun, alat
kontrasepsi tidak mudah dijangkau oleh masyarakat sehingga mengakibatkan
meningkatnya AKI (SDKI, 2012 ; Profil Kesehatan KEMENKES RI, 2009).
Dalam menurunkan Angka Kematian Ibu
(AKI) diperlukan strategi yang efektif yaitu meningkatkan upaya kesehatan.
Upaya kesehatan yang dapat diberikan adalah dengan asuhan persalinan normal
dengan paradigma baru yaitu dari sikap menunggu dan menangani komplikasi
menjadi mencegah komplikasi yang mungkin terjadi. Hal tersebut dapat diwujudkan
dengan mendekatkan pelayanan kebidanan kepada setiap ibu yang membutuhkannya.
Penempatan bidan harus adil dan merata sehingga tidak ada kesenjangan
penempatan bidan baik di perkotaan maupun di pedesaan. Dalam upaya tersebut
harus bersifat non-diskriminatif dimana setiap ibu yang membutuhkan pertolongan
bidan wajib memperoleh pelayanan tersebut. Selain itu, ketersediaan pelayanan
kebidanan harus berkualitas, terjamin keamanannya, efektif dan sesuai serta
pembiayaan pelayanan kesehatan harus terjangkau oleh ibu yang membutuhkannya
(SDKI, 2012 ; Profil Kesehatan KEMENKES RI, 2009).
Masih mahalnya pembiayaan pelayanan
kebidanan bagi ibu di kalangan miskin dapat diatasi dengan adanya asuransi bagi
ibu hamil dimana asuransi tersebut merupakan tanggung jawab dari pemerintah,
masyarakat dan swasta. Asuransi tersebut harus bersifat efektif, efisien, adil
dan transparan. Jadi, pemerintah harus menjangkau pembiayaan persalinan secara
efektif dan efisien serta adil dan transparan bagi ibu hamil. Sebenarnya, AKI
dapat dicegah dengan pemakaian alat kontrasepsi. Namun, alat kontrasepsi masih
sulit dijangkau oleh ibu-ibu di kalangan miskin. Oleh karena itu, seharusnya
pemerintah menyediakan alat kontrasepsi yang aman, berkhasiat, bermanfaat dan
bermutu dimana alat kontrasepsi tersebut tersedia secara merata dan terjangkau.
Selain itu, masyarakat juga harus mendapatkan informasi yang benar, lengkap dan
tidak menyesatkan tentang alat kontrasepsi dari produsen, distributor maupun
pelaku pelayanan kesehatan (SDKI, 2012 ; Profil Kesehatan KEMENKES RI, 2009).
Semua program yang diimplementasikan
pemerintah kepada ibu-ibu tidak akan berjalan optimal tanpa adanya perubahan
perilaku dari ibu-ibu. Oleh karena itu, perlu adanya pemberdayaan masyarakat
yang dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan, serta
menjadi penggerak dalam menurunkan AKI. Pemberdayaan masyarakat dilakukan
dengan kemitraan berbagai pihak, dimana pemerintah berperan untuk membuka akses
informasi dan dialog, menyiapkan regulasi dan menyiapkan masyarakat dengan
membekalinya dengan pengetahuan dan ketrampilan bagi ibu-ibu maupun masyarakat dan
ibu-ibu maupun masyarakat dapat berpartisipasi dengan memberikan kritikan yang
membangun untuk menurunkan AKI (SDKI, 2012 ; Profil Kesehatan KEMENKES RI,
2009).
Angka Kematian Bayi (AKB) terjadi
akibat BBLR, asfiksia lahir ataupun dipengaruhi oleh kondisi ibu saat
melahirkan. Selain itu, kematian perinatal dapat dipengaruhi oleh status
ekonomi (kemiskinan) sehingga menyebabkan bayi berpotensi memiliki gizi buruk
dan status kesehatan yang buruk pula. Dalam menurunkan Angka Kematian Bayi
(AKB) diperlukan strategi yang efektif yaitu meningkatkan upaya kesehatan.
Upaya kesehatan yang dapat diberikan adalah dengan asuhan persalinan normal
dengan paradigma baru yaitu dari sikap menunggu dan menangani komplikasi
menjadi mencegah komplikasi yang mungkin terjadi. Hal tersebut dapat menurunkan
AKB karena bayi dilahirkan dengan selamat pada saat persalinan. Selain itu,
pemerintah juga memberikan makanan dan/atau minuman khusus ibu hamil secara
gratis kepada ibu hamil seperti susu khusus ibu hamil dan biscuit khusus ibu
hamil. Hal tersebut dilakukan setiap seminggu sekali sehingga ibu-ibu hamil di
Indonesia dapat memperoleh nutrisi dan upaya tersebut harus dilakukan secara
adil dan merata baik di perkotaan maupun pedesaan. Selain itu, ketersediaan
nutrisi tersebut harus berkualitas, terjamin keamanannya, efektif dan sesuai
(SDKI, 2012 ; Profil Kesehatan KEMENKES RI, 2009, 2014).
Pemerintah harus mampu menciptakan
nutrisi untuk ibu-ibu hamil baik dalam berupa makanan atau minuman atau inovasi
yang lainnya dimana nutrisi tersebut memberikan tambahan nutrisi untuk ibu-ibu
hamil sehingga anak yang akan dilahirkan selamat baik secara fisik maupun
kecerdasannya. Nutrisi tersebut harus diberikan secara gratis kepada ibu-ibu
hamil secara merata baik di perkotaan maupun di pedesaan. Bahan baku dari
nutrisi tersebut harus bersumber dari dalam negeri. Selain itu, pemerintah
harus mampu menciptakan imunasi yang lebih efektif daripada imunisasi
sebelumnya melalui inovasi/kreatifitas yang dikelola secara profesional,
sistematis dan berkesinambungan sehingga tidak terdapat lagi anak-anak
Indonesia yang menderita polio dan menyebabkan kelumpuhan (SDKI, 2012 ; Profil
Kesehatan KEMENKES RI, 2009, 2014).
Program pemerintah yang
diimplementasikan untuk menurunkan AKB akan berjalan optimal apabila pemerintah
memberdayakan masyarakat untuk ikut andil dalam program yang diimplementasikan.
Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan kemitraan berbagai pihak, dimana
pemerintah berperan untuk membuka akses informasi dan dialog, menyiapkan
regulasi dan menyiapkan masyarakat dengan membekalinya dengan pengetahuan dan
ketrampilan bagi ibu-ibu, orang tua maupun masyarakat dan ibu-ibu, orang tua
maupun masyarakat dapat berpartisipasi dengan memberikan kritikan yang
membangun untuk menurunkan AKB (SDKI, 2012 ; Profil Kesehatan KEMENKES RI, 2009,
2014).
Daftar
Pustaka
1. McCharty
J, Maine DA. Framework for analysis the determinants of maternal Mortality.
Studies in Family Planing. 1992; 23 (1): 23-33.
2. Kementerian
Negara Pemberdayaan Perempuan. Angka kematian ibu melahirkan. Jakarta: 2011
[diakses tanggal 10 Juni 2016]. Diunduh dalam:http://www.menegpp.
go.id/V2/index.php/datadaninformasi/kesehatan.
3.
Mujianti, Inti. 2012. Situasi Keluarga Berencana di Indonesia.
Buletin data dan informasi kesehatan KEMENKES : Jakarta
4.
Badan Pusat Statistik
(2008). Survei Demografi dan Kesehatan
2007, Jakarta.
5.
Badan Pusat Statistik
(2011). Fertilitas Penduduk Indonesia
Hasil Sensus Penduduk 2010, Jakarta.
6.
Badan Pusat Statistik
(2013). Survei Demografi dan Kesehatan
2012, Jakarta.
7.
Badan Pusat Statistik
(2015). Survei Demografi dan Kesehatan
2015, Jakarta
8.
Kementerian Kesehatan. Laporan Nasional Riset Fasilitas Kesehatan
2011, Badan Litbang Kesehatan, Jakarta, 2012.
9.
Kementerian Kesehatan. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2012, Badan
Litbang Kesehatan, Jakarta 2013.
10. Population Reference Bureau. Family Planning Worldwide 2008 Data
Sheet, Washington.
11. World Health Organization. World
Health Statistics 2013, Italia World Health Organization, 2013.
12. Wati, SL. 2013. Gambaran penyebab
kematian neonatal di rumah sakit umum daerah dr. Moewardi. Fakultas kesehatan
universitas muhamadyah Surakarta
13. Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional. 2012. Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia.
Jakarta:Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.
14. Stalker, Peter. 2008. Millenium
Development Goals. BAPPENAS dan UNDP.
15. Departemen Kesehatan RI. 2009. Sistem
Kesehatan Nasional. Jakarta:Departemen Kesehatan RI
Langganan:
Postingan (Atom)